Sejarah Pedagang Kaki Lima: Dari Trotoar Lima Kaki ke Ikon Kuliner Jalanan

Awal Mula: Dari "Five Feet Way" ke Trotoar yang Hidup

Pernahkah kamu bertanya-tanya, kenapa disebut pedagang kaki lima? Apakah karena mereka punya gerobak dengan tiga roda dan dua kaki manusia, jadi total lima kaki? Menarik, tapi ternyata bukan itu asal-usulnya.

Kisahnya bermula di masa kolonial Belanda, tepatnya saat Thomas Stamford Raffles memimpin Hindia Belanda sekitar tahun 1811–1816. Pada masa itu, pemerintah kolonial membangun jalur khusus di depan pertokoan, selebar five feet way atau lima kaki — sekitar 1,5 meter — yang digunakan sebagai trotoar pejalan kaki. (Herald.id)

Gambar ilustrasi: pedagang kaki lima di masa kolonial Belanda
Gambar ilustrasi: pedagang kaki lima di masa kolonial Belanda

Namun, seiring waktu, jalur ini menjadi lebih dari sekadar tempat melintas. Warga mulai memanfaatkannya untuk berjualan — menggelar kain, menaruh keranjang, bahkan mendorong gerobak kecil berisi makanan. Nah, karena mereka berdagang di area five feet way itu, muncullah sebutan pedagang kaki lima.

"Dulu, trotoar lima kaki dibangun untuk pejalan kaki. Tapi justru di sanalah denyut ekonomi rakyat kecil mulai bernafas."

Selain itu, ada juga keunikan linguistik: dalam bahasa Melayu, frase seperti "five feet" diterjemahkan secara terbalik menjadi "kaki lima" — sesuai pola bahasa Melayu yang menyusun kata keterangan setelah kata benda. (123dok.com)

Dagangan Awal: Dari Bubur Panas hingga Barang Kelontong

Kalau kita mundur ke awal abad ke-19, jenis barang dagangan pedagang kaki lima masih sederhana. Mereka menjual kebutuhan dasar masyarakat:

  • Makanan dan minuman ringan — bubur, gorengan, kopi hitam, teh manis, dan jajanan pasar.
  • Barang kelontong — sabun, korek api, lilin, rempah-rempah.
  • Barang bekas atau hasil kerajinan sederhana.

Kehadiran mereka membantu warga kota memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa harus masuk ke toko besar. Dalam banyak hal, PKL adalah cikal bakal dari warung modern.

"Dari wajan panas di pinggir jalan, lahirlah aroma yang membuat kota lebih hidup."

Di era kemerdekaan dan awal Orde Baru, jumlah pedagang kaki lima meningkat pesat. Urbanisasi besar-besaran membuat banyak warga desa datang ke kota untuk mencari penghasilan. Trotoar, emper toko, dan pinggir jalan menjadi ruang hidup ekonomi rakyat.

Kini, bentuk dan barang dagangan mereka jauh lebih beragam. Ada yang menjual makanan kekinian, minuman boba, nasi goreng, hingga fashion murah. Pedagang kaki lima telah bertransformasi menjadi cermin gaya hidup perkotaan.

Dari Stigma ke Citra Positif: Perjalanan Panjang di Trotoar Kota

Dulu, pedagang kaki lima sering dianggap mengganggu ketertiban. Trotoar yang seharusnya untuk pejalan kaki berubah jadi tempat berdagang. Banyak pemerintah daerah melakukan penertiban atau relokasi, kadang dengan cara yang keras.

Namun seiring berjalannya waktu, persepsi mulai berubah. PKL kini dipandang sebagai bagian penting dari ekonomi rakyat. Mereka bukan sekadar "pengganggu", melainkan penopang ekonomi informal yang menyediakan lapangan kerja dan akses pangan murah.

Beberapa kota mulai menata dengan cara yang lebih manusiawi — menyediakan area khusus, jam operasional, hingga bantuan gerobak dan fasilitas kebersihan. Pemerintah daerah seperti di Magetan, misalnya, menyalurkan bantuan gerobak untuk PKL sebagai bagian dari program pembinaan UMKM. (JDIH Magetan)

Selain itu, digitalisasi juga mengubah wajah PKL. Banyak pedagang kini menerima pesanan melalui WhatsApp, media sosial, atau platform pesan antar seperti GrabFood dan GoFood. PKL pun ikut menyesuaikan diri dengan zaman.

Apakah Pedagang Kaki Lima Termasuk UMKM?

Jawabannya: ya, tentu saja.

Pedagang kaki lima umumnya termasuk kategori usaha mikro, bagian dari kelompok UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Mereka memiliki modal kecil, tenaga kerja terbatas, dan omzet tahunan yang relatif rendah — tapi kontribusi mereka pada perekonomian sangat besar.

Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, sektor UMKM menyerap lebih dari 90% tenaga kerja nasional, dan sebagian di antaranya berasal dari pedagang kecil serta kaki lima. Mereka berperan penting dalam menjaga roda ekonomi tetap berputar, bahkan di masa krisis seperti pandemi. (RM.id)

Namun ada tantangan besar: banyak PKL masih belum memiliki izin usaha, NPWP, atau akses pembiayaan. Akibatnya, mereka sering terlewat dari program bantuan resmi. Di sinilah pentingnya peran pemerintah dan lembaga keuangan mikro untuk membuka akses bagi sektor informal.

"Pedagang kaki lima itu bukan sekadar jualan di pinggir jalan. Mereka adalah pejuang ekonomi rakyat yang menolak menyerah."

Dari Jalan ke Dunia Digital: PKL Zaman Sekarang

Sekarang, batas antara pedagang kaki lima dan pelaku UMKM makin kabur. Banyak PKL yang sudah naik kelas — membuka cabang, punya branding, hingga memanfaatkan media sosial untuk promosi.

Fenomena ini juga terlihat di dunia kuliner. Banyak warung tenda yang dulunya sederhana kini viral di media sosial. Mereka bertransformasi menjadi ikon kuliner kota. Beberapa bahkan masuk ke daftar wisata kuliner resmi daerah, karena keunikan dan cita rasa otentik yang tak ditemukan di restoran besar.

Dengan meningkatnya akses digital, PKL punya peluang baru: bisa menjangkau pelanggan tanpa harus bergantung pada lokasi fisik. Cukup lewat ponsel, mereka bisa menerima pesanan dan promosi.

Dan satu hal menarik: banyak pelanggan justru mencari cita rasa kaki lima karena dianggap lebih jujur, autentik, dan punya sentuhan manusia yang hangat. Inilah nilai yang membuat pedagang kaki lima tetap bertahan, meski zaman berubah.

Gambar ilustrasi: pedagang kaki lima modern dengan pelanggan muda di malam hari
Gambar ilustrasi: pedagang kaki lima modern dengan pelanggan muda di malam hari

Penutup: Dari Trotoar ke Tulang Punggung Ekonomi

Sejarah pedagang kaki lima bukan sekadar kisah trotoar yang ramai. Ini adalah cerita tentang daya juang, kreativitas, dan keteguhan rakyat kecil dalam bertahan hidup. Dari masa kolonial hingga era digital, mereka selalu menemukan cara untuk tetap eksis.

Kini, istilah pedagang kaki lima bukan hanya soal lokasi di pinggir jalan. Ia telah menjadi simbol keteguhan, semangat wirausaha, dan denyut nadi ekonomi rakyat. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa tanpa PKL, wajah kota Indonesia akan kehilangan jiwanya.

"Mereka berdagang di bawah terik matahari dan lampu jalan, tapi cahaya sejatinya datang dari semangat yang tak pernah padam."

Sumber Referensi

Martani Kuliner
Martani Kuliner Memublikasikan konten seputar kulineran. Jual makanan produksi rumahan. Aneka resep masakan. Tempat kuliner. Informasi wisata kuliner hingga tips kuliner.
Diskon Makanan Online Martani Kuliner di GoFood GrabFood dan ShopeeFood